Ikan Mati Suri
Pemuda yang tersesat dalam lingkungan yang relegius
Jumat, 20 Mei 2016
Rabu, 25 Maret 2015
Imam pertama
Keriuhan
ayam dalam menyambut kedatangan pagi, saling serang dan saling
tindih-menindihkan kerasnya suara kukuruyuk. Aku pernah mendapat pedoman,
bangunlah sepagi mungkin biar rejekimu tidak keburu di makan ayam. Aku sangat
percaya hal yang dulu pernah di sampaikan orang tuaku itu. namun kali ini aku
tidak sedang mencari rejeki, namun aku bangun sepagi mungkin karena hari ini
aku ada Ujian Tengah Semester hari pertama. Ya setelah tujuh minggu menimbun
setiap ilmu yang di siramkan ke otaku yang semakin tumbuh ini, kini saat otak
itu di tes kemampuannya. Apakah si otak bisa mengeluarkan semua yang pernah di
dapatkannya- ataukah ilmu itu Cuma numpang lewat. Seperti halnya masuk dari
telinga kanan terus keluar dari telinga kiri.
Embun pagi
yang terkurung oleh polusi dari kenalpot kendaraan. Menyisakan udara yang pengap.
Bersama sepeda yang aku kayuh ini. Akupun terkurung oleh hafalan materi yang
tadi malam terus aku baca berulang-ulang. Menyisakan rasa pening di kepala ini.
Karena waktu tidurku juga berkurang. Keringat yang mulai menetes, membekas di
baju. Semoga kerja kerasku selama ini dalam memahami setiap materi dapat
memberikan bekas yang berupa nilai yang memuaskan. Senyuman security yang
menerpa di gerbang kampus. Secara tidak langsung memberikan semangat tambahan
dalam Ujian Tengah Semester hari pertama ini, lebih dari itu senyuman juga
berarti memberikanku dorongan agar bisa tetap tenang mengerjakan soal-soal
nantinya. Setelah sepeda kuparkir, berjalan dengah langkah yang mantap aku
menuju ruangan tempat ujian. Untung ruanganku berada di lantai bawah, jadi aku
tidak perlu melangkahi satu demi satu tangga.
#
Hari kedua
Ujian Tenghah Semester. Semua kisi-kisi yang sudah di berikan oleh para dosen
memang sebagian besar sudah aku pahami. Hari ini ada tiga mata kuliah yang di
ujikan yang harus aku hadapi. Sebenarnya aku tidak terlalu keberatan. Jangankan
tiga, sekalipun harus melakukan ujian 5 mata kuliah dalam seharipun aku pasti
masih bisa menghadapinya. Namun di hari kedua Ujian Tengah Semester ini
masalahnya bukan itu, tapi ada mata kuliah yang jadwal ujiannya benturan. Iya entah
ini aku yang salah apa memang dari pihak kampus yang kurang benar. Akupun sudah
berusaha dengan menanyakan keberatanku ini kepada beberapa pihak. Pertama aku
menanyakan kepada dosen Bahasa Inggris “Bu, jadwal UTS bahasa inggris itu
waktunya bersamaan dengan jadwal mata kuliah Hukum kewarisan, terus gimana bu?”.
Pertanya itu aku sampaikan di hari terakhir dalam pembelajaran Bahasa Inggris. Dan
dengan suara tegas beliau menjawab “terserah kamu mau mengikuti ujian bahasa
inggris apa mau mengikuti ujian hukum kewarisan, tapi yang pasti , disini tidak
ada ujian ulang, jadi jika tidak mengikuti ujian, nanti ya nilainya kosong”. Itu
mungkin jawaban yang tegas buat ibu dosen itu, tapi buat aku itu adalah jawaban
penumbuh rasa dilema. Jadi gini nih jadwal ujian yang harus aku jalani di hari
kedua Ujian Tengah Semester ini. Jam 07.30 sampai jam 09.00 Mata Kuliah Bahasa
Inggris di gedung Bahasa lantai 4 . Kedua jam 08.30 sampai jam 09.00 Hukum kewarisan
di fakultas syariah dan hukum lantai 1. Ketiga jam 09.30 sampai 10.30 mata
kuliah hukum perkawinan fakultas syariah dan hukum lantai 2. Jadi dari pukul 07.30
sampai 10.30 harus aku diharuskan menjalankan tiga mata kuliah di ruang yang
berbeda. Sebenarnya itu tidak masalah, tapi disini masalahnya adalah waktu
ujian bahasa inggis dengan waktu ujian hukum kewarisan hanya berselisih 30
menit. Itu artinya jika aku tidak ingin ada nilai yang kosong aku harus
mengerjakan soal bahasa inggris hanya dengan waktu 30 menit, kemudian langsung
lari dari gedung bahasa menuju gedung fakultas syariah dan hukum untuk
mengikuti ujian mata kuliah hukum kewarisan.
Setelah
selesai menjalani hari ujian tengah semester di hari kedua dengan keruwetan dan
ketidak fokusan. Akupun mendapatkan jawaban kenapa jadwal ujian mata kuliah
bahasa inggris dengan jadwal mata kuliah hukum kewarisan hanya berselisih 30
menit. Aku mendapat jawaban dari dosen mata kuliah hukum kewarisan yaitu Drs.
Riyanta M.Hum. setelah selesai mengerjakan ujian mata kuliah hukum kewarisan
kebetulan beliau menjadi pengawas ujian pada waktu itu. sambil meminta tanda
tangan sebagai bukti kehadiran aku bertanya “Pak jadwalnya kok bisa benturan
sama mata kuliah bahasa inggris?” pertanyaan yang aku sodorkan bersamaan dengan
kertas KRS yang akan beliau tanda tangani. Sambil menandatangi KRS beliau
menjawab “Mata kuliah bahasa inggris kan semester 2 sementara mata kuliah hukum
kewarisan kan mata kuliah semester 4” selesai menandatangani kertas KRS beliau
melanjutkan penjelasannya “makanya dulu pada saat pengisian KRS kamu tidak usah
ngambil mata kuliah yang atas dulu, kamu kan mahasiswa semester dua, jadi ya
ngambilnya mata kuliah yang ada di semester dua dulu”. Mendengar penjelasan
beliau aku hanya bisa ngangguk-ngangguk sambil menyalami beliau dan pamit
pergi. Sambil meninggalkan ruang ujian hatiku berkata “entahlah siapa yang
salah,
#
Cinta dan Ilmu
Aku teringat,
masih jelas. Ketika banyak mahasiswa yang mampu menghafal materi yang diberikan
oleh sang dosen pada hari ini. bahkan ketika di hari berikutnya sang dosen
memberikan materi baru dengan sangat mudah para mahasiswapun mampu untuk
menghafal materi yang diberikan dengan baik. Barulah ketika tiba ujian tengah
semester, soal-soalnya di ambil dari materi-materi yang pernah di sampaikan.
Dan sang dosen terkejut ketika melihat hasil pekerjaan para mahasiswanya.
Karena hampir secara umum nilainya di bawah rata-rata. Keterkejutan sang dosen
bertambah parah ketika ia mengingat dulu ketika ia menyampaikan materi kepada
mahasiswanya, hampir semua mahasiswa bisa menghafal materi yang diberikan
dengan baik. Ketika di akhir pembelajaran satu persatu mahasiswa di kasih
pertanyaan, semuanya pasti bisa menjawabnya dengan benar. Namun entah mengapa
hasil ujian tengah semester ini justru sangat mengecewakan. Dari kejadian itu
aku bisa menyimpulkan bahwa ilmu itu seperti cinta. Bukan di hafalkan tapi di
pahami.
Trio Kucing
Agungnya bulan
di malam hari. Memberikan cahaya yang maha dasyat di antara jutaan bintang yang
mengitarinya. Tanpa jenuh dan tanpa lelah sang bulan terus menerangi gelapnya
malam walau terkadang ia harus sendirian karena tak jarang para bintang
tertutup oleh pekatnya awan. Bahkan di saat para bintang bertebaran di
sekitarnya, sang bulan pun tetap terlihat paling perkasa memancarkan indahnya
sinar penerang malam. Andai saja sang bulan bisa berbicara ia mungkin akan
berucap “Di dalam keramaian aku masih merasakan kesepian”. Itulah yang aku
alami saat ini. Di dalam keramaian kantin bawah tanah yang ada di kampusku ini,
aku duduk di satu kursi yang di hadapkan dengan satu meja besar. Sebenarnya satu
meja di kelilingi oleh empat sampai sepuluh kursi. Karena saat ini aku
sendirian jadi aku memilih meja yang paling kecil yang hanya dikelilingi oleh
empat kursi saja. Rasa kesepian ini semakin terasa berat untuk kujunjung di
saat meja-meja yang lain kursinya selalu ada penghuninya. Meja yang di
kelilingi percakapan ,perdebatan, diskusi yang di lakukan para mahasiswa yang
sedang bermesraan dengan pasangannya, mahasiswa yang sedang berkumpul dengan organisasinya
dan para dosen yang sekedar mengistirahatkan raga dan jiwanya dari aktifitas
pengajaran.
Teh
botol dingin yang ku beli terus meneteskan embun tipis. Membasahi meja yang
memberikan bekas. Seperti halnya kesendirian ini, terus melunturkan rasa senang
yang coba aku tampakan lewat mimik mukaku. Makanan yang aku bawa dari rumah aku
keluarkan dari tas. Ya hampir tiap hari aku selalu membawa makanan sendiri dari
rumah. Ini membuat aku sering teringat dengan sahabat lamaku sewaktu SMK dulu. Namanya
burhan, ia adalah teman sekelasku sewaktu SMK. Ia dulu setiap hari selalu
membawa makanan dari rumah, makanan yang di bungkus dengan daun pisang. Karena aku
memang tau sebelum berangkan ia memang selalu memabantu ibunya berjualan nasi
di samping pabrik yang tak jauh dari rumahnya. Aku tau itu, tapi waktu itu
hampir setiap pagi ketika kita sarapan bareng aku selalu berkata “kamu gak malu
membawa gituan dari rumah, ini kan di warung makan, kenapa gak memesan makan
disini?”. Ia tidak pernah membalas perkataanku itu. karena ia hanya membalas
dengan senyuman khasnya. Dan kini setelah hampir satu tahun, aku melakukan yang
dulu ia lakukan. Walaupun aku tidak memakai daun pisan sebagai pembungkusnya,
tapi karena disini adalah kantin yang tidak pernah sepi menjadikan rasa malu sering
menemaniku. Bahkan dulu di awal-awal aku pernah di tegur oleh salah satu
pelayan. Ketika salah seorang pelayan mengambil piring kotor di meja sebelahku
dan dia melihat aku membawa makanan dari rumah sang pelayan langsung menegur “maaf
mas, disini tidak boleh membawa makanan dari rumah, karena yang ngantri juga
banyak mas”. Karena waktu itu aku dibilang masih mahasiswa baru, sambil
menundukan kepala aku langsung mengemas makanan yang belum aku habiskan lalu
kemudian pergi begitu saja. Namun kini aku sudah punya idea yang selalu aku
pake supaya pelayan tidak bisa menegurku lagi. Cara yang ku pakai adalah dengan
membeli teh botoh yang terlihat mahal padahal harganya tiga ribu. Kenapa aku
memilih teh botol? Padahal disitu juga ada mizon dan aqua. Kalau membeli mizon
atau aqua ada kemungkinan itu juga membawa dari rumah. Tapi kalau yang kubeli
adalah teh botoh sudah pasti tidak mungkin itu di bawa dari rumah.
Langganan:
Postingan (Atom)