Rabu, 25 Maret 2015

Trio Kucing





Agungnya bulan di malam hari. Memberikan cahaya yang maha dasyat di antara jutaan bintang yang mengitarinya. Tanpa jenuh dan tanpa lelah sang bulan terus menerangi gelapnya malam walau terkadang ia harus sendirian karena tak jarang para bintang tertutup oleh pekatnya awan. Bahkan di saat para bintang bertebaran di sekitarnya, sang bulan pun tetap terlihat paling perkasa memancarkan indahnya sinar penerang malam. Andai saja sang bulan bisa berbicara ia mungkin akan berucap “Di dalam keramaian aku masih merasakan kesepian”. Itulah yang aku alami saat ini. Di dalam keramaian kantin bawah tanah yang ada di kampusku ini, aku duduk di satu kursi yang di hadapkan dengan satu meja besar. Sebenarnya satu meja di kelilingi oleh empat sampai sepuluh kursi. Karena saat ini aku sendirian jadi aku memilih meja yang paling kecil yang hanya dikelilingi oleh empat kursi saja. Rasa kesepian ini semakin terasa berat untuk kujunjung di saat meja-meja yang lain kursinya selalu ada penghuninya. Meja yang di kelilingi percakapan ,perdebatan, diskusi yang di lakukan para mahasiswa yang sedang bermesraan dengan pasangannya, mahasiswa yang sedang berkumpul dengan organisasinya dan para dosen yang sekedar mengistirahatkan raga dan jiwanya dari aktifitas pengajaran.
                Teh botol dingin yang ku beli terus meneteskan embun tipis. Membasahi meja yang memberikan bekas. Seperti halnya kesendirian ini, terus melunturkan rasa senang yang coba aku tampakan lewat mimik mukaku. Makanan yang aku bawa dari rumah aku keluarkan dari tas. Ya hampir tiap hari aku selalu membawa makanan sendiri dari rumah. Ini membuat aku sering teringat dengan sahabat lamaku sewaktu SMK dulu. Namanya burhan, ia adalah teman sekelasku sewaktu SMK. Ia dulu setiap hari selalu membawa makanan dari rumah, makanan yang di bungkus dengan daun pisang. Karena aku memang tau sebelum berangkan ia memang selalu memabantu ibunya berjualan nasi di samping pabrik yang tak jauh dari rumahnya. Aku tau itu, tapi waktu itu hampir setiap pagi ketika kita sarapan bareng aku selalu berkata “kamu gak malu membawa gituan dari rumah, ini kan di warung makan, kenapa gak memesan makan disini?”. Ia tidak pernah membalas perkataanku itu. karena ia hanya membalas dengan senyuman khasnya. Dan kini setelah hampir satu tahun, aku melakukan yang dulu ia lakukan. Walaupun aku tidak memakai daun pisan sebagai pembungkusnya, tapi karena disini adalah kantin yang tidak pernah sepi menjadikan rasa malu sering menemaniku. Bahkan dulu di awal-awal aku pernah di tegur oleh salah satu pelayan. Ketika salah seorang pelayan mengambil piring kotor di meja sebelahku dan dia melihat aku membawa makanan dari rumah sang pelayan langsung menegur “maaf mas, disini tidak boleh membawa makanan dari rumah, karena yang ngantri juga banyak mas”. Karena waktu itu aku dibilang masih mahasiswa baru, sambil menundukan kepala aku langsung mengemas makanan yang belum aku habiskan lalu kemudian pergi begitu saja. Namun kini aku sudah punya idea yang selalu aku pake supaya pelayan tidak bisa menegurku lagi. Cara yang ku pakai adalah dengan membeli teh botoh yang terlihat mahal padahal harganya tiga ribu. Kenapa aku memilih teh botol? Padahal disitu juga ada mizon dan aqua. Kalau membeli mizon atau aqua ada kemungkinan itu juga membawa dari rumah. Tapi kalau yang kubeli adalah teh botoh sudah pasti tidak mungkin itu di bawa dari rumah.              
                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar