Agungnya bulan
di malam hari. Memberikan cahaya yang maha dasyat di antara jutaan bintang yang
mengitarinya. Tanpa jenuh dan tanpa lelah sang bulan terus menerangi gelapnya
malam walau terkadang ia harus sendirian karena tak jarang para bintang
tertutup oleh pekatnya awan. Bahkan di saat para bintang bertebaran di
sekitarnya, sang bulan pun tetap terlihat paling perkasa memancarkan indahnya
sinar penerang malam. Andai saja sang bulan bisa berbicara ia mungkin akan
berucap “Di dalam keramaian aku masih merasakan kesepian”. Itulah yang aku
alami saat ini. Di dalam keramaian kantin bawah tanah yang ada di kampusku ini,
aku duduk di satu kursi yang di hadapkan dengan satu meja besar. Sebenarnya satu
meja di kelilingi oleh empat sampai sepuluh kursi. Karena saat ini aku
sendirian jadi aku memilih meja yang paling kecil yang hanya dikelilingi oleh
empat kursi saja. Rasa kesepian ini semakin terasa berat untuk kujunjung di
saat meja-meja yang lain kursinya selalu ada penghuninya. Meja yang di
kelilingi percakapan ,perdebatan, diskusi yang di lakukan para mahasiswa yang
sedang bermesraan dengan pasangannya, mahasiswa yang sedang berkumpul dengan organisasinya
dan para dosen yang sekedar mengistirahatkan raga dan jiwanya dari aktifitas
pengajaran.
Teh
botol dingin yang ku beli terus meneteskan embun tipis. Membasahi meja yang
memberikan bekas. Seperti halnya kesendirian ini, terus melunturkan rasa senang
yang coba aku tampakan lewat mimik mukaku. Makanan yang aku bawa dari rumah aku
keluarkan dari tas. Ya hampir tiap hari aku selalu membawa makanan sendiri dari
rumah. Ini membuat aku sering teringat dengan sahabat lamaku sewaktu SMK dulu. Namanya
burhan, ia adalah teman sekelasku sewaktu SMK. Ia dulu setiap hari selalu
membawa makanan dari rumah, makanan yang di bungkus dengan daun pisang. Karena aku
memang tau sebelum berangkan ia memang selalu memabantu ibunya berjualan nasi
di samping pabrik yang tak jauh dari rumahnya. Aku tau itu, tapi waktu itu
hampir setiap pagi ketika kita sarapan bareng aku selalu berkata “kamu gak malu
membawa gituan dari rumah, ini kan di warung makan, kenapa gak memesan makan
disini?”. Ia tidak pernah membalas perkataanku itu. karena ia hanya membalas
dengan senyuman khasnya. Dan kini setelah hampir satu tahun, aku melakukan yang
dulu ia lakukan. Walaupun aku tidak memakai daun pisan sebagai pembungkusnya,
tapi karena disini adalah kantin yang tidak pernah sepi menjadikan rasa malu sering
menemaniku. Bahkan dulu di awal-awal aku pernah di tegur oleh salah satu
pelayan. Ketika salah seorang pelayan mengambil piring kotor di meja sebelahku
dan dia melihat aku membawa makanan dari rumah sang pelayan langsung menegur “maaf
mas, disini tidak boleh membawa makanan dari rumah, karena yang ngantri juga
banyak mas”. Karena waktu itu aku dibilang masih mahasiswa baru, sambil
menundukan kepala aku langsung mengemas makanan yang belum aku habiskan lalu
kemudian pergi begitu saja. Namun kini aku sudah punya idea yang selalu aku
pake supaya pelayan tidak bisa menegurku lagi. Cara yang ku pakai adalah dengan
membeli teh botoh yang terlihat mahal padahal harganya tiga ribu. Kenapa aku
memilih teh botol? Padahal disitu juga ada mizon dan aqua. Kalau membeli mizon
atau aqua ada kemungkinan itu juga membawa dari rumah. Tapi kalau yang kubeli
adalah teh botoh sudah pasti tidak mungkin itu di bawa dari rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar